Senin, 08 Februari 2010

Sebuah Kisah Kesuksesan dari Merenda

Artikel ini aku dapatkan dari sebuah situs berita cetak.kompas.com. Semoga dapat menyemangati para penghobby merenda.

Memberdayakan Perempuan di Tiga Dusun

Minggu, 28 Desember 2008 | 01:09 WIB

Taplak meja putih bermotif cetak bunga-bunga mungkin biasa. Namun, bila motif itu dibuat dari susunan benang yang dirajut, hasilnya jauh lebih anggun. Tak hanya itu, kerajinan rajutan renda itu ternyata mampu menghidupi ekonomi warga di tiga dusun Kecamatan Belinyu, Kabupaten Bangka, Provinsi Bangka Belitung.

Martina (48) selama lebih dari 20 tahun memproduksi berbagai benda dari rajutan renda dengan merek Renda Mar Bersaudara.

Merajut merupakan kegemaran Martina bersama kedua kakak dan seorang adiknya, Maryati, Marnita, dan Marbiyah, sejak muda. Mereka mulai belajar menyulam dari tetangga ketika tinggal di Palembang, tempat asal sang ayah. Setelah kembali ke Bangka tahun 1974, Martina dan saudaranya mulai mengembangkan renda rajutan.

Setelah menikah, usaha kerajinan itu mulai berjalan dan renda rajut pun semakin banyak peminatnya. Pada 1985, Martina mengajak ibu-ibu tetangga ikut merajut. Anak-anak putus sekolah menjadi sasaran. Kendati harus mengajari cara merajut, baik melalui PKK maupun lainnya, Martina tidak merasa lelah.

Saat ini, tenaga perajin renda mencapai 50-75 orang yang tersebar di tiga dusun, yakni Dusun Airasem, Kelurahan Bukitketok; Dusun Pesisir Tanjung Gudang, Kelurahan Airjukung; dan Dusun Kampung Padanglalang, Kelurahan Airjukung, semuanya di wilayah Kecamatan Belinyu. Di Pesisir Tanjung Gudang, misalnya, perajin adalah para istri nelayan. Sambil menunggu suami melaut, mereka belajar merenda.

Awalnya tentulah sulit bagi penerima penghargaan kualitas dan produktivitas dari Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tahun 2007 ini mengajar merajut kepada para perajin yang tidak bisa merajut sama sekali. Namun, istri Muchtar ini tidak mau menyerah. Ia bahkan selalu membayar rajutan hasil karya kaum ibu itu, kendati akhirnya ia harus mengurai kembali dan merajut ulang.

Setiap rajutan paling sederhana dari satu gulung benang dihargai Rp 10.000-Rp 15.000. Untuk rajutan dengan motif lebih rumit, ibu-ibu menerima Rp 25.000 per gulungan benang. Gulungan benang itu disediakan Martina.

”Saya tetap membayar untuk memacu ibu-ibu terus merajut sambil memberi tahu kekurangannya. Setelah bisa, perajut bisa diajarkan membuat rajutan yang lebih sulit,” tutur Martina yang memiliki ibu asal Bangka itu.

Sesuai keperluan

Kendati usaha kerajinan renda rajut sudah berjalan, Martina tetap mencari jenis produk yang diperlukan konsumen. Ketika telepon seluler (ponsel) menjadi salah satu barang paling diperlukan dan digemari masyarakat, ia pun membuat tempat ponsel sesuai selera pasar. Tak ayal, tempat ponsel dari rajutan laku keras. Terlebih lagi pembuatannya juga lebih cepat karena ukurannya memang mungil. Dalam sehari, seorang perajin bisa menghasilkan empat-lima rajutan tempat ponsel.

Untuk merajut alat-alat rumah tangga yang lebih besar tentulah butuh waktu. Misalnya, untuk pengerjaan taplak meja bundar berdiameter 2,5 meter, dibutuhkan waktu tiga bulan bila dilakukan satu perajin. Bahkan, merajut penutup tempat tidur ukuran 1,6 meter x 2 meter memerlukan waktu enam bulan. Karenanya, ketika ada pesanan seperti itu, Martina akan mengerjakan bersama-sama beberapa perajin lain.

Boleh jadi karena butuh waktu pengerjaan yang lama itulah maka harganya pun tentulah tidak murah. Apalagi seluruhnya dikerjakan dengan tangan. Taplak meja bundar dihargai Rp 1 juta-Rp 2,5 juta, sedangkan penutup tempat tidur Rp 4 juta-Rp 6 juta. Untuk barang ukuran lebih kecil, seperti peci, harganya Rp 35.000-Rp 75.000, sarung bantal dan taplak meja tamu berkisar Rp 125.000, tergantung kerumitan rajutannya.

Martina bersyukur kegemarannya merajut membawa berkah. Selain bisa membantu menambah penghasilan puluhan keluarga di lingkungan sekitarnya, Martina bisa menjaga nafkah keluarganya setelah suaminya pensiun dini dari PT Timah pada 1995. Setiap bulan, omzetnya berkisar Rp 25 juta dengan keuntungan bersih sekitar Rp 6 juta-Rp 7 juta.

Walaupun dari tiga anaknya yang semuanya laki-laki tidak ada yang berminat meneruskan usahanya, Martina masih punya harapan. Salah seorang menantunya mulai tertarik dengan usaha kerajinan yang dirintis sejak 20 tahun silam itu. Kunjungan para istri pejabat dan pemasaran dari mulut ke mulut membantu usaha renda rajut itu tetap hidup.

Uluran tangan dari industri besar seperti saat menjadi ”anak angkat” PT Semen Baturaja, Palembang, pada tahun 1996 menjadi semacam suntikan bagi usaha yang tergolong skala rumah tangga ini. Bantuan renovasi dari perusahaan semen itu menyulap rumahnya di Jalan Yos Sudarso Nomor 66 Belinyu menjadi semacam bengkel kerja.

Dengan target pemasaran di dalam negeri, Martina merasa tidak terimbas krisis ekonomi global saat ini. Malah, dengan difasilitasi Pemerintah Kabupaten Bangka, ia tak henti ikut berpameran ke sejumlah daerah, termasuk ke luar negeri semisal AS dan Australia. Saat ini, kerajinannya sudah menyebar ke Riau, Pekanbaru, Bontang, Papua, Semarang, Surabaya, dan Jakarta. (Nina Susilo)

Anda terinspirasi untuk mengembangkan...?